Senin, 13 Januari 2014

BANI IDRIS (KIAI TIDJANI)

RISALAH SINGKAT BIOGRAFI KIAI TIDJANI
KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA, merupakan putera dari (alm) Kia Djauhari selaku muqaddam Tarekat Tijaniyah di Madura. Beliau mendapatkan ijazah dan talqin oleh ayahnya, sebelum beliau berangkat melanjutkan studinya ke Madinah pada tahun 1965. Kiai Tidjani lahir di desa Prenduan, Sumenep, Madura, pada hari Selasa, pada tanggal 24 Dzul-Qo’dah 1365 H/23 Oktober 1945 M. Dan beliau merupakan putera kedua dari seorang ibu yaitu Nyai Maryam.
Nasab Kiai Tidjani dari keturunan ibunya ia mewarisi keturunan kiai kharismatik dari organisasi kemasyarakatan NU, (alm) Kiai As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren As-Syafi’iyah Asem Bagus Situbondo. Hal ini diperkuat dari penjelasan Kiai Tidjani semasa hidupnya: “Almarhum Kiai As’ad Syamsul Arifin, adalah sepupu dari nenek saya. Jadi masih keluarga sendiri.” Kalau dari pihak ayahnya dia mewarisi keturunan salah seorang tokoh legendaris Madura, yaitu Jokotole. Jokotole adalah salah seorang tokoh yang memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah kerajaan Majapahit.
Semasa kecilnya beliau mengenyam pendidikan keduanya di Sekolah Rakyat/ MMA pada tahun 1378 H/ 1945-1958 M. Setelah itu beliau melanjutkan sisa pendidikan ke Pondok Pesantren Darussalam KMI Gontor Ponorogo pada tahun 1384 H/ 1958-1965M. Ketika beliau lulus di KMI, beliau mengabdikan diri di sana, bahkan beliau diberikan tanggung jawab sebagai sekretaris panitian pendirian Institut Pondok Darussalam Gontor yang kemudian sekarang dikembangkan menjadi ISID Gontor. Beliau juga menjadi ketua forum Silaturrahmi Pimpinan Pondok Pesantren Alumni Modern Darussalam Gontor (FOSKPPA-PMDG).
Di lain sisi beliau menjadi ketua Forum Silaturrahmi Kiai Alumni PM. Gontor Ponorogo, dan beliaulah yang memimpin pertemuan tersebut dalam acara Serasehan tentang Amandemen UU. SISDIKNAS. Setahun kemudian, beliau mengikuti dialog IV DPR dalam mendukung UU. SISDIKNAS bersama KH. Abdullah Syukri  (pimpinan Gontor), dan KH. Kholil Ridwan (pimpinan Badan Kerjsama Silaturrahmi Pondok Indonesia). Bahkan beliau diberikan kepercayaan untuk menjadi koordinator Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA).
 Sebelum beliau melanjutkan pendidikannya ke Mekkah dan Madinah, beliau di karunia seorang istri yan g sholehah dari seorang putri ulama terkenal Ny. Hj. Dra. Anisah Fathimah Zarkasyi. Beliau adalah putri ke lima dari putri (alm) KH. Imam Zarkasyi pendiri Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Hubungan Kiai Tidjani dengan Kiai Zarkasyi adalah sebagai murid dan juga menajdi menantunya. Keberuntungan besar yang belia dapatkan, karena Kiai Tidjani mengabdikan dirinya kepada gurunya (ta’dib) dan pesantren, maka dari inilah beliau di ambil mantu oleh gurunya, yaitu Kiai Zarkasyi.
Dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, beliau di karunia keturunan, yaitu: 1) H. Ahmad Fauzi Tidjani, MA, 2) Hj. Shafiyah, Lc. M.Si, 3) Hj. Aisyah, Lc, 4) Hj. Afifah, 5) Imam Zarkasyi, 6) Amnah, 7) Abdullah Muhammadi, dan 8) Syifa’. Bahkan beliau di karuniai cucu dari perkawinan putra dan putrinya yaitu Syafiqoh Mardiana, dan Ayman Fajri.
Semasa beliau melanjutkan pendidikan S1 di Jami’ah Islamiyah Madinah pada tahun 1969 M, dan melanjutkannya ke S2 di Jami’ah Malik Abdul Aziz Mekah (S2) pada tahun 1389 H/ 1974. Dari tahun 1965-1974 Kiai Tidjani mendalami ilmu keagamaannya, semasa beliau menjadi mahasiswa luar negeri, beliau menjadi pimpinan redaksi majalah Tullab University Islam Madinah, dan pernah mengisi ceramah ilmiyah anggota persatuan pelajar Indonesia Komisariat Madinah, bahkan beliau dipercayai memberikan bimbingan penyuluhan kepada jama’ah haji  di Makkah, Madinah, dan Mina (semasa S1).
Setelah beliau menyandang status Magister. Beliau mengabdi dan bekerja di Rabithah Alam Islami di Makkah pada tahun 1974-1989. Beliau adalah orang terpilih, karena tesis Magisternya menggunakan teks dan bahan penelitiannya, dikumpulkan dari berbagai negara seperti Turki, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Spanyol sampai Mesair. Dari sinilah Kiai Tidjani di percayai oleh M. Natsir untuk bergabung dengan RAI, karena beliau merupakan mahasiswa terbaik dari tingkat Lisens Fakultas Syari’ah Jami’ah Madinah untuk program S1, Universitas Ibnu Saud Mekkah untuk jenjang S2 dengan predikat mumtaz.
Pada tahun 1989-2007, beliau kembali pada tanah kelahirannya, yaitu di Prenduan. Disanalah beliau menghabiskan sisa hidupnya dan membantu adiknya Kiai Idris demi mewujudkan cita-cita Kakeknya, yaitu mengembangkan warisan luluhur, yaitu pengembangan pesantren dan dakwah. Pondok Tegal yang merupakan warisan dari Kiai Djauhari di sulap dengan sedemikianrupa. Sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Di sanalah beliau meneruskan perjuangan ayahnya dan beliau menjadi Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.
Sedangkan dalam dunia  tasawuf, beliau menerima ajaran tarekat shufiyah dari para gurunya semasa beliau hidup di Makkah. Gurunya adalah Syekh Muhammad bin Abdul Hamid Alfuty, dari Syekh Muhammad Alfa Hasyim, dari Syekh Ahmad bin Umar Alfuty, dari ayahnya Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijany yang beliu menerima langsung yaqdlatan dari kanjeng gusti Rasulullah Saw. Di lain sisi, beliau mendapatkan ijazah dari Syekh Idris bin Muhammad Al-‘Abid Al-Husainy Al-Iraqy dari Fez Maroko, dan dari Syekh Adam An-Nafithy asala Negeria, bahkan beliau mendapatkan ijazah dari cicit Syekh Ahmad At-Tidjani, As-Sayyid Muhammad Al-Basyir At-Tijnai yang berasal dari Mauritania. Ketika beliau kembali ke Indonesia, disanalah Kiai Tidjani di talqin oleh Syekh Muhammad Al-Hafidz bin Abdul Lathif at-Tijani Syekh Zawiyah Tijaniyah Kairo.
Wafatnya Kiai Djauhari sebagai muqaddam di Madura, dapat digantikan posisinya oleh Kiai Tidjani sebagai muqaddam. Di lain sisi, beliau menjadi pimpinan ponok pesantren Al-Amien Prenduan, yang di patneri oleh adik-adiknya yaitu Kiai Idris dan Kiai Makhtum. Walaupun Kiai Tidjani menduduku tingkatan muqaddam di organisasi tarekat, beliau tidak pernah menyangkutpautkan dengan jabatan beliau sebagai pimpinan pesantren. Hal ini dapat diutarakan oleh Kiai Khoiri Khusni, bahwa Tarekat Tijaniyah bersifat pribadi tidak ada hubungannya dengan konstitusi pondok.
Pada hari Kamis, tanggal 15 Romadhan 1428 H/27 September 2007 Pukul 02.00 WIB, beliau menghembuskan nafas terakhirnya di dunia. Dan perjuangannya di teruskan oleh adiknya yaitu Kiai Idris sebagai pempinan pesantren setelah Kiai Tidjani wafat. Namun sekrang posisi Kiai Idris sudah tergantikan oleh adiknya yaitu Kiai Makhtum, setelah Kiai Idris wafat pada hari Kamis, tanggal 28 Juni 2012.
Sumber : http://firdausimastapala.blogspot.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar