EMHA AINUN NAJIB
Lahir:
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama:
Islam
Isteri:
Novia Kolopaking
Pendidikan:
- SD, Jombang (1965)
- SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
- SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
- Pondok Pesantren Modern Gontor
- FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)
Lahir:
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama:
Islam
Isteri:
Novia Kolopaking
Pendidikan:
- SD, Jombang (1965)
- SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
- SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
- Pondok Pesantren Modern Gontor
- FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga.
Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada
adalah “yang sedang menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada
seseorang atau sesuatu pun yang pernah mengajari saya lantas tidak lagi
menjadi Guru saya.Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling
rajin mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya
berguru kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka
sangat telaten untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya
sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak
terlalu mblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin
saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan
keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh,
disalah-pahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu
berusaha menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima
dengan rasa syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk
pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita
menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha
menjadi menantu seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah
sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena
lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu
mau jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang
penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup
saya tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur
sampai sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan
peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya
sibuk dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah
kamu mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian
saya mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi
lagi: “Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur adukkan nilai
sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak
cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu
tidak bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik,
kemelaratan ummat dan lain sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat.
Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan
lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak
muda protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme
nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam
bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah
ada yang ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja,
jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu
tidak bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu
salah satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan
itu memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya
didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu!
Tidak setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya
tatkala karena suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya
dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya
diingatkan: “Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah
kamu budak ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema –
dari sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja –
dengan acuan Quran dan Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini
mufassir liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran
dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro dan suprastruktural,
saya dijewer: “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika
saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil
saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak
rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu
komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu
wasyrabuu! Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari
rejeki, saya ditonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang
lalu saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu….
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau
tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar