Kiprahnya di dunia pendidikan mengundang perhatian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Memimpin Pondok Modern Darussalam Gontor sejak 1985, KH Abdullah Syukri Zarkasyi dinilai berhasil mengembangkan lembaga pendidikan Islam tersebut. Sedikitnya sudah terbentuk 13 cabang di Indonesia dengan ribuan alumni.
Para alumni mengembangkan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat melalui pondok pesantren tak hanya di Indonesia, tapi sampai ke berbagai negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Suriname, dan Afrika Selatan. Atas keberhasilan itu, Sabtu (20/8) pekan lalu, peraih gelar master of arts (MA) Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Al-Azhar University Kairo, Mesir, kelahiran Gontor, 19 September 1942 ini mendapat penghargaan berupa gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Negeri itu dalam bidang pendidikan agama Islam. ”Ini suatu kehormatan buat saya. Ini juga almamater saya,” katanya.
Gelar itu diperolehnya berkat peran dia sebagai praktisi pendidikan sehingga membawa Gontor berkembang seperti sekarang. Lantaran itulah, Syukri menganggap gelar kehormatan itu tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk kehormatan bagi pimpinan Gontor yang lain, kehormatan buat pondok secara keseluruhan. Di UIN, yang sebelumnya bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, putra sulung dari 11 bersaudara pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor ini lulus sarjana muda pada 1965.
Sehari sebelum menerima penganugerahan tersebut, mantan Pengurus HMI cabang Ciputat yang kini Ketua Umum Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A), Departemen Agama ini menerima wartawan Republika/, Burhanuddin Bella, dalam sebuah wawancara. Ayah lima anak ini mengisahkan pengalamannya membina Pondok Modern Darussalam Gontor setelah kembali menimba ilmu dari berbagai negara. Petikannya:
Saat ini bagaimana perkembangan Gontor?
Gontor berkembang sampai 13 cabang di seluruh Indonesia dengan santri 15.863 orang. Selain itu, 179 pondok pesantren alumni Gontor. Ini pertimbangan lembaga pendidikannya. Kedua, perkembangan alumni. Ternyata para alumni bermunculan menjadi tokoh-tokoh di masyarakat, jadi bupati, polisi, anggota DPR, anggota MPR, menteri. Istilahnya, sistem pendidikan Gontor telah menghasilkan orang-orang seperti itu. Mungkin atas dasar ini, saya dianggap sebagai praktisi pendidikan.
Apa yang menonjol di Gontor hingga menjadi perhatian UIN?
Saya tidak tahu persis yang dianggap menonjol. Tapi, saya memimpin Gontor hampir 20 tahun, kenyataannya memang begitulah lembaga pendidikan harus kita kelola dengan sungguh-sungguh, dengan keikhlasan yang prima, dengan wawasan, pengorbanan, dan sebagainya. Dengan cara seperti begini kita memimpin pondok, kenyataannya maju dan berkembang hingga jadi 13 cabang dan 179 pondok pesantren alumni. Bermunculan sekian banyak alumni.
Sekitar 75 tahun Gontor tidak diakui oleh pemerintah. Baru tahun 2000 Gontor mendapat pengakuan dari pemerintah. Padahal, swasta itu kebutuhannya ada dua, diakui dan dibantu. Lha, kursus mobil saja diakui, kenapa ini tidak? Alhamdulillah, dengan reformasi kita mendapatkan pengakuan. Depdiknas akui, Depag akui. Sebab luar negeri, dari Pakistan, Malaysia, Thailand, negara-negara Timur Tengah, negara Barat mengakui Gontor, kenapa Indonesia tidak mengakui?
Bagi Gontor sendiri, apa artinya pengakuan itu?
Itu memudahkan anak-anak untuk melanjutkan pendidikan. Tapi sebetulnya, Gontor tanpa diakui juga berkembang terus. Kenapa Gontor berkembang? Pertama, Gontor selalu berpegang kepada roh, jiwa, dan filsafat hidup. Pelaksana-pelaksana dan seluruh keluarga pondok dan santri, keluarga-keluarganya, harus mempunyai jiwa dan filsafat hidup. Itulah yang menjadi kekuatan.
Karena ada jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, ada jiwa mandiri, ada jiwa ukhuwah Islamiyah, ada jiwa kebebasan. Jiwa dalam filsafat hidup pondok: ‘Hidupilah pondok, jangan menggantungkan hidup dari pondok. Berjasalah jangan minta jasa. Sekali hidup, hidup yang berarti. Jangan sekadar berani mati, tapi juga berani hidup.’ Dari bermacam-macam filsafat dan jiwa itu, maka manusia-manusia yang ada di pondok bisa berbuat lebih maksimal.
Kedua, Gontor ini sebuah pesantren. Seluruh santri dan guru wajib tinggal di dalam kampus, di dalam pondok. Sehingga 24 jam bisa kita didik dengan macam-macam pendidikan. Yang mendidik itu apa? Mazhab pendidikan Gontor, yang mendidik itu adalah apa yang dilihat, apa yang dengar, apa yang dikerjakan, itulah yang mendidik. Maka, kewajiban seorang kiai mengatur tata kehidupan santri dan guru serta keluarga di dalam kampus. Tata kehidupan itu diatur, digerakkan, dihidupkan, dan di-support. Dengan begitu, maka sebetulnya yang mendidik itu adalah totalitas kehidupan di dalam pondok.
Saat tidak diakui pemerintah, bagaimana Gontor menghidupi dirinya?
Gontor itu bisa menghidupi dirinya karena segala hal dikerjakan oleh santri sendiri. Pengurus dapurnya santri, kantin pelajar oleh santri, koperasi pelajar oleh santri. Seluruh kegiatan oleh santri sendiri. Bahkan, guru tidak mengambil dari SPP. Guru berusaha sendiri, jaga toko, percetakan, dan sebagainya di dalam pondok juga.
Percetakan mencetak buku-buku standar untuk pondok-pondok pesantren alumni Gontor. Itu kira-kira bisa menguntungkan Rp 600 juta setahun. Dengan demikian, kemandirian itu ternyata menghasilkan dana juga. Namun, yang terpenting bukan masalah berapa untungnya, melainkan jiwa kemandirian. Sehingga dalam kondisi apa pun dan keadaan bagaimana pun, mereka tetap eksis.
Bagaimana sampai Anda memimpin Gontor?
Saya memimpin Gontor karena saya melihat ini mempunyai idealisme yang tinggi sekali. Saya sudah ke mana-mana. Al-Azhar itu mempunyai ribuan hektare sawah dan mendidik anak sedemikian rupa. Maka dari Al-Azhar keluar tokoh-tokoh dunia yang mengislamkan dunia. Ketika saya di Mesir, ternyata gerakan-gerakan Islam, itu lebih banyak dengan pendidikan. Dengan politik, Jamaluddin Al Ahwani, tidak berhasil. Yang berhasil justru Syeh Muhammad Abduh dengan pendidikan dan kembali kepada Alquran dan hadis dengan akidah yang benar.
Ketika saya di Leiden, Belanda, saya melihat sebuah gereja kecil. Ternyata, Universitas Leiden yang terkenal itu bermula dari sebuah gereja yang kecil. Maka saat itu saya ingat, ‘Lho, Gontor dengan masjid pusaka yang kecil itu, bisa mengeluarkan tokoh-tokoh hebat untuk Indonesia dan untuk Islam di Indonesia. Mengapa tidak?’ Maka saya ingin pulang ke Gontor. Kalau Leiden hanya seperti begitu menciptakan imprealis-imprealis Belanda sedemikian rupa, lha ini Gontor bukan seperti itu. Lebih dahsyat lagi.
Begitu pentingnya pendidikan?
NU tanpa pondok-pondok pesantren tidak ada apa-apanya. Muhammadiyah tanpa lembaga-lembaga pendidikan tidak ada apa-apanya. Indonesia pun tanpa lembaga-lembaga pendidikan tidak ada artinya apa-apa. Maka lembaga pendidikan harus dihidupkan.
Bukankah dengan pengalaman dari pengetahuan dari luar negeri, Anda bisa berpenghasilan lebih besar bila tidak kembali ke Gontor? Belum tentu. Di Gontor, kalau saya jual air minum kemasan untuk 15.800 santri, keuntungan saya per bulan bisa Rp 15 juta. Itu hanya air minum. Belum lagi makanan. Sudah saya hitung, kalau di Gontor hanya untuk mencari ekonomi, saya bisa mendapatkan untung Rp 150 juta sebulan. Itu kalau saya sekadar mementingkan ekonomi.
Tapi, saya tidak. Bukan itu. Itu saya bagi, saya ambil dikit saja. Dan itu sudah cukup buat saya. Mau apa lagi. Yang penting maju. Kalau pondok maju, kita ikut maju. Kalau pondok berpengaruh, kita ikut berpengaruh. Kalau pondok kaya kita ikut kaya, minimal merasa kaya. Jadi, kalau kita nyetir mobil sampai Jakarta, kita kan ikut ke Jakarta. Dalam bahasa yang lain, kalau kita memenangkan Allah, Allah akan memenangkan kita. Jadi, itu ukurannya.
Apa yang Anda rasakan melihat banyak alumni yang sudah berhasil?
Tambah yakin dan tambah mantap bahwa lembaga merupakan kunci keberhasilan suatu usaha. Apa pun, itu kunci keberhasilan. Tapi, mendidik harus dengan keikhlasan, kesungguhan, pengorbanan yang prima. Tidak sekadar bekerja dan berbuat.
Mendidik tidak hanya dengan ngomong, tidak hanya berbicara. Mendidik itu dengan keteladanan, dengan penugasan, dengan pembiasaan. Biasa kerja keras, berpikir keras. Sekaligus kita mendidik dengan klasikal juga, seperti sekolah.
Membina sebuah pondok pesantren berarti membina masyarakat sekitar juga. Inilah yang dilakukan Syukri. Semuanya berawal dari inisiatif masyarakat. ”Mereka datang ke tempat saya,” kata pria yang mengaku rajin berolahraga jalan kaki sejauh 4-5 km setiap pagi ini. Untuk masyarakat, Syukri membina hampir 325 TPA (Taman Pengajar Pendidikan Alquran) dan turut mengelola ratusan langgar dan masjid di luar pondok. Ratusan kepala-kepala desa daerah binaan juga berduyun-duyun mendatanginya. Setiap hari beragam orang menyambangi kediamannya. ”Dari bupati, DPR, itu sering rapat di rumah saya,” katanya.Bahkan, para jagoan. Warok, istilahnya.
Bagaimana membina warok?
Kita arahkan mereka.
Tidak bandel-bandel?
Ya, bandel-bandel juga.
Tentu polanya beda?
Harus berbeda. Membina masyarakat, membina Pemda, itu juga berbeda-beda. Itu ada bahasanya tersendiri. Saya sudah terbiasa dengan seperti begitu, akhirnya mereka bisa memaklumi saya. Mereka segan dengan saya dan mereka bersyukur karena saya bina. Karena itu juga banyak yang sudah haji. Yang dulu sembahyangnya kurang-kurang, bisa mengimani. Bisa sembahyang, bisa menggerakkan masyarakat akhirnya dia menjadi tokoh, diangkat jadi kepala desa. Itu cara saya membina, sehingga hubungan dengan mereka sangat baik. Sampai kebiasaan di Ponorogo, setiap hari raya Idul Fitri, tamu yang datang ke tempat saya bersilaturahmi dari 5.000-7.000 orang sehari selama 7-8 hari.
Bagaimana ceritanya bisa membina masyarakat di luar pondok?
Seorang kiai tugasnya membuat dan menata kehidupan di dalam pondok. Saya tata seluruhnya. Dapur, kamar mandi, sampai pancuran. Dalam tempo seperempat jam, 4500 santri sudah harus sembahyang, dan sudah berwudhu. Caranya? Saya buat kurang lebih 350 pancuran. Cuma ini saja ternyata kurang. Daerah kerja Gontor harus baik. Maka lingkungan desa, kecamatan, kabupaten dari Gontor harus benar dan baik. Dan saya ikut membina masyarakat, membina kepala desa, sampai membina bupati, dan pemda.
Bagaimana perasaan Anda melihat warok yang dibina telah berubah?
Saya merasa bersyukur. Tugas saya memang begitu. Tugas seorang kiai kan berdakwah. Saya membina mereka sekaligus dakwah. Yang dai, saya suruh jadi dai. Akhirnya, hampir 183 kepala desa yang menjadi daerah binaan Gontor, dari 360 desa.
Soal pendidikan, bagaimana Anda melihat pendidikan di Indonesia?
Pendidikan di Indonesia perlu banyak diperbaiki. Terutama SDM, baik guru atau pun muridnya. Mereka harus mengetahui motivasi, nilai pendidikan apa, dan sebagainya. Perkara sistem, itu bisa diciptakan sesuai kondisi. Karena itu, bagaimana perhatian pemerintah terhadap guru. Di Depag, itu 20 persen negeri, 80 persen swasta. Tapi, bantuannya terbalik. Yang negeri dibantu 80 persen, swasta hanya 20 persen. Ini tidak adil. Maka pemerintah perlu memperhatikan masalah pendidikan.
Lingkungan pesantren sudah diakrabinya sejak kecil. Sang ayah, KH Imam Zarkasyi, membuat pesantren saat itu. Sosok ayah adalah segalanya untuk Syukri. ”Ayah saya adalah guru saya, kiai saya, sekaligus ayah saya. Karena dia yang mendidik saya, dia yang mendoakan saya dan dia yang membina saya. Dari sinilah maka cita-cita saya sama dengan ayah saya.” Ketika sempat merambah ke luar negeri, Syukri bertekad melanjutnya cita-cita perjuangan sang ayah. ”Setelah saya pulang dari luar negeri, ngobrol dengan ayah saya, ternyata cerita saya cocok. Dari sinilah, maka saya berbuat di Gontor tidak tanggung-tanggung, habis-habisan. Mau mati biar mati, mau hidup biar hidup. Mau apa, pokoknya habis-habisan. Dan ternyata tidak habis juga.”
Sekolah ke luar negeri dikirim oleh ayah atau dapat beasiswa?
Dapat beasiswa ke Mesir. Terus saya ke Belanda, 1 tahun. Habis itu mutar-mutar ke beberapa negara seperti Belgia. Alhamdulillah, saya mendapatkan bermacam-macam pengalaman.
Bagaimana dengan anak-anak? Berbedakah cara membina anak-anak di rumah dengan mendidik santri?
Tentu ada bedanya sedikit. Tapi, bahwa rumah tangga kemudian sekolah, masyarakat, seluruhnya tercipta di dalam lingkungan pondok. Yang senior memimpin yang junior, kakak memimpin adiknya. Dengan disiplin yang tinggi, kita sebagai bapaknya, kadang-kadang memarahi, kadang-kadang support. Ya, seperti begitulah keadaannya, seperti di rumah. Dari sini maka anak-anak dibiasakan untuk kehidupan karena pendidikan adalah pembiasaan. Dia juga belajar memimpin, belajar gesekan dengan orang lain, belajar bisa dipimpin. Dengan demikian maka dia akan memahami.
Jadi, anak-anak dididik dengan pola yang sama di pesantren?
Sama. Anak saya di rumah sedikit sekali. Lebih banyak di dalam pesantren.
Apakah anak-anak tidak merasa sebagai anak seorang kiai?
Sama saja. Anak saya juga digundul. Sama disiplinnya anak saya dengan yang lain, tidak ada ini anak kiai.
Bacaan yang Anda senangi?
Saya suka sejarah, jurusan saya juga sejarah. Tapi, bacaan saya macam-macam, tafsir, Ulumul Quran. Yang tiga itu yang senang saya baca. Sebagai seorang pendidik, seorang Muslim, wajib mengetahui secara detail tentang itu semuanya. Untuk sejarah, saya suka sejarah Islam, sejarah Indonesia. Itu saya baca, di samping beberapa sejarah Eropa.
Apa impian Anda yang belum tercapai?
Cita-cita saya, 1.000 Gontor di Indonesia. Dan itu belum puas saya, masih terus kalau bisa sekian ratus lagi.
Apa yang diinginkan dengan memperbanyak Gontor?
Ya, supaya menciptakan masyarakat madani. Itu harus dengan pendidikan. Pendidikan adalah politik tertinggi. Politik tertinggi adalah pendidikan.
Apa yang dilakukan untuk mencapainya?
Kita didik anak-anak Gontor sedemikian rupa, sehingga dia mau berkorban di mana pun juga. Anak-anak yang mau dengan segala keikhlasannya mengabdi di mana saja. Meskipun di kampung kecil atau pun di langgar yang terpencil.( )
Sumber: www.mail-archive.comw