KH. Muhammad Idris Jauhari (1952-2012): Konseptor Pendidikan Mu’allimien
Hingga kini dan sampai kapan pun, sosok
kharismatik beliau tak akan lekang dari ingatan, karena begitu besar
jasa dan sumbang pemikiran beliau dalam dunia pendidikan Islam di Tanah
Air.
Bagi santri beliau seperti saya, sosok
Ustadz Idris adalah pribadi mengesankan. Meski telah tiada, tak jarang
sosok beliau muncul dalam mimpi saya. Beberapa waktu lalu beliau datang
menyambangi mimpi saya, hingga saya tergugah menulis kenangan ini.
Entah mengapa. Mungkin karena begitu
dekat ikatan batin beliau dengan para santri. Sebagai santri angkatan
keempat, delapan tahun saya hidup, dibesarkan, dan beliau bimbing di
kampus tercinta Al-Amien Prenduan.
Tentu banyak kenangan hidup yang
mengesankan mengenai Ustadz Idris, bahkan hingga saya menjadi alumni dan
berkiprah di dunia luar. Hampir setiap sore, misalnya, saya dan
kawan-kawan bermain sepakbola atau bola voli di lapangan samping rumah
beliau. Tak jarang beliau turun ke lapangan ikut bermain, dengan tetap
memakai sarung yang dijinjing-jinjing.
Selagi dulu mendapat giliran menjadi
bulis (piket) malam, entah mengapa saya selalu ditugaskan berjaga di
teras kediaman beliau. Di tengah malam beliau tiba-tiba keluar rumah
membawa makanan. Pernah sekali beliau keluar membawa gitar dan mengajak
kami bernyanyi. Kala itu lagu-lagu karya Ebiet G. Ade sedang hits, dan
kami pun bernyanyi diiringi gitar yang beliau mainkan.
Pada diri sosok kharismatik ini tampak
tersimpan jiwa seni, yang karyanya kini kita warisi. Misalnya, bersama
almarhum Ustadz Bakir Hasan, Guru Bahasa Indonesia yang sastrawan asal
Aengpanas Kapedi, beliau beberapa kali menggubah lagu. Kami pun
termotivasi hingga membentuk sanggar-sanggar sastra, lembaga penerbitan,
kaligrafi, bahkan kelompok teater al-Hilal.
Dibawah bimbingan beliau dan para Ustadz
berdidikasi, plus sarana seperlunya, kami para santri mampu menemukan
bakat masing-masing. Rekan kami Jamal D Rahman menemukan bakatnya
sebagai penyair saat membuat puisi indah tentang mata air yang baru
saja keluar dari sumur yang sedang digali di pondok untuk memenuhi
kebutuhan air yang langka.
Saya mencatat, setidaknya tiga mata
pelajaran yang selalu beliau ajarkan langsung kepada kami. Yaitu,
Didaktik Metodik, Balaghah dan Bahasa Arab. Dengan pilihan itu,
tampaknya beliau ingin menekankan betapa penting ketiganya ketimbang
diserahkan pengajarannya kepada guru lain. Ketiganya pun terkait seni,
yaitu seni mendidik/ mengajar dan seni sastra.
Di tiap kesempatan pertemuan, beliau tak
henti-henti mendorong tiap santri untuk langsung terjun ke masyarakat
setelah lulus dari pesantren. Di acara pelepasan santri kelas enam,
misalnya, beliau berjam-jam memberi ceramah dan pengarahan yang intinya
mendorong santri berdakwah dan mendidik masyarakat dimanapun berada.
Ilmu yang diterima santri di pondok
beliau anggap cukup memadai untuk membimbing umat. Dan itu beliau
buktikan sendiri dengan mengambil peran sebagai dai dan pendidik di
pesantren dan masyarakat. Selepas menjadi alumni Pondok Modern Gontor,
beliau langsung mengelola Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan tanpa
merasa harus lebih dahulu kuliah diperguruan tinggi.
Kala masih muda, ketika memulai
Pesantren Al-Amien dari nol, beliau seratus persen berusaha menerapkan
ajaran gurunya Kia Imam Zarkasyi
di Gontor, almamaternya. Untuk membesarkan Al-Amien, beliau pun
mengajak sejumlah rekan alumni Gontor, seperti Ustadz Abbasi Fadhil dan
Jamaluddin Kafie, serta Ustadz Fadholin yang kini tinggal di Lamongan.
Ustadz Idris selalu mendidik santri
dengan disiplin yang keras, sama seperti para Kiai Gontor. Itu dimulai
dari diri beliau, misalnya serius menyiapkan bahan pelajaran sebelum
masuk kelas. Pada mulanya, kesiapan mengajar setiap guru beliau awasi
sendiri, dan belakangan diformulasikan sehingga menjadi sistem
pengajaran di Al-Amien.
Hampir setiap malam, usai makan di dapur
belakang kediamanya, para guru beliau cegat mampir di saung samping
rumah mendiskusikan ragam persoalan. Banyak ide tulisan saya lahir dari
diskusi-diskusi semacam itu.
Diam-diam saya bertindak sebagai
pencatat, lalu menuliskan ide yang menarik, seraya mengirimkan
tulisan-tulisan tersebut ke beberapa media massa.
Beliau juga ketat memegang prinsip
pesantren, dan enggan berkompromi terhadap hal-hal yang melanggar ajaran
Islam, khususnya akidah. Prinsip keikhlasan, misalnya, merupakan harga
mati di pondok sebagai refleksi dari akidah tauhid. Itu sebabnya, beliau
tak segan meminta santri atau bahkan Ustadz untuk keluar dari pondok
dengan alasan-alasan syar’i.
Beliau mentah-mentah menolak intervensi
luar ke pesantren, terutama di masa orde baru. Otoritas Kiai di
pesantren betul-betul beliau pelihara. Independensi pesentren tak boleh
ditawar-tawar. Apapun bantuan yang ditawarkan, berupa uang ataupun
tenaga, akan selalu melewati filter beliau agar tak mengkontaminasi
pondok dan penghuninya.
Namun demikian, Ustadz Idris merupakan
salah seorang Kiai Madura yang sangat terbuka terhadap ide, pemikiran
dan orang baru. Hob de Jung, antropolog Belanda, pernah tinggal di
Pondok untuk meneliti budaya Madura. Begitu pula pakar Islam dari Gereja
Katolik Tom Michel SJ pernah pula beliau layani berdiskusi di pondok.
Tak aneh beliau kaya pengetahuan. Meski
tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, Ustadz Idris banyak menelorkan
inovasi baru dalam pendidikan dan pengajaran di pesantren. Saya kaget
ketika pondok telah mempraktikkan konsep kompilasi dasar (Komdas) dan
pilihan (Kompil), yang belakangan diterapkan dalam konsep pendidikan
nasional.
Beliau pula yang merumuskan konsep
pendidikan Mu’allimien secara utuh, ilmiah dan terstruktur, sehingga
menjadi rujukan standar bagi pesantren-pesantren mu’adalah di
Indonesia. Konsep itu dilengkapi dengan bangunan epistemologi keilmuwan
Islam, yang menjadi dasar titik tolak konsep Komdas dan Kompil tadi.
Inspirasi utama rumusan konsep itu
memang dari Gontor dan sejumlah lembaga Mu’allimien, seperti
Muhammadiyah Yogyakarta dan Persatuan Umat Islam (PUI) Majalengka. Tapi
Ustadz Idris mampu merumuskan konsep Mu’allimien yang bisa diterima
semua pesantren, bukan hanya yang modern seperti Pondok Gontor, tapi
juga yang Pondok Salafi seperti Pesantren Sidogiri.
Saya kira, itulah sumbangan terbesar
Kiai Idris bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Tapi selama ini, gagasan,
ide maupun inovasi beliau jarang terekspos ke luar. Beliau memang tak
pernah mau menonjolkan diri dengan konsep-konsep dan rumusan brilian
itu, hingga konsep besar seperti pendidikan Mu’allimien tersebut seolah
lahir begitu saja.
Bahkan, beliau enggan tampil di pentas
publik, karena baginya tugas mendidik di pesantren tak boleh terganggu.
Beliau lebih memilih tinggal di dalam pondok, mencurahkan seluruh hidup,
pikiran, waktu dan tenaga hanya untuk pesantren. Dengan ikhlas, penuh
dedikasi, beliau berdakwah dan mendidik, demi mengharapkan ridha Allah
SWT semata.
Selamat jalan, Ustadz. Jazakumullah atas ilmu, jasa, dan perjuanganmu demi Islam.
Allahummagfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu.
Ahmadie Thaha, Alumni TMI Al-Amien Prenduan Tahun 1980.
Sumber : http://al-amien.ac.id
Sungguh terinspirasi membaca perjalanan beliau....ust.IDRIS......saya sbg alumni perdana (77)...banyak menyimpan kenangan pahit dan manis bersama beliau.....terutama bersama syarqawi subli , suryadi, zairullah rais ,marzuki makruf,plato...
BalasHapus.Kaeh Choiri and soon......
Duh inget betul jk beliau mengisi testing di mudharat dg lagu idolanya.."Bunga Flamboyan" sementara ust. Jamaluddin kafir ",Why do you love me".......group ku syarqawi subli dan suryadi dg lagu favorites "Bunga di tepi jalan"....
Selamat jalan ust.
Jamaluddin kafi bukan jamaluddin kafir
BalasHapusUst.Idris Jauhari.
BalasHapusSosok malaikat dunia,
Yg melukis banyak anak bangsa,
Pada langkah...
Pada senyuman...
Saat darah muncrat dari ubun ubun...
Alirkan angin rindu//
Sayatkan nafas di kesorean//
Dibawah batang nyiur kulafadkan sujud akhir//
Bersaman lehar_ lehar angin pantai//
Di wajah pragaan kutemani menyemai sorga.
Ust.Idris Jauhari.
BalasHapusSosok malaikat dunia,
Yg melukis banyak anak bangsa,
Pada langkah...
Pada senyuman...
Saat darah muncrat dari ubun ubun...
Alirkan angin rindu//
Sayatkan nafas di kesorean//
Dibawah batang nyiur kulafadkan sujud akhir//
Bersaman lehar_ lehar angin pantai//
Di wajah pragaan kutemani menyemai sorga.
The Casino Bar & Grill - MapYRO
BalasHapusThe 강원도 출장마사지 Casino Bar & Grill in Las Vegas, NV is a 4.5-star 밀양 출장샵 hotel with 5 restaurants, a 울산광역 출장마사지 full-service 동두천 출장샵 spa, and a 성남 출장안마 casino. The casino is open 24 hours a day, 7 days a week. Rating: 8.3/10 · 9,926 reviews