Imam Zarkasyi dilahirkan pada 21 Maret 1910 di sebuah desa bernama
Gontor, Ponorogo. Kala itu, ia dibawa ibunya ke kadipaten (kabupaten)
Ponorogo bersama dua kakak laki-lakinya, Ahmad Sahal (1901-1977) dan
Zainuddin Fananie (1908-1967). Zarkasyi adalah bungsu dari tujuh
bersaudara. Empat kakak tertuanya terdiri dari satu orang kakak
laki-laki (anak pertama) dan tiga orang kakak perempuan.
Ayah
Zarkasyi, Kiai Santoso, adalah pimpinan generasi ketiga sebuah pesantren
yang kini disebut Gontor Lama. Setelah sang ayah meninggal, pesantren
itu vakum. Karena itu, Zarkasyi bersama kedua kakak laki-lakinya sejak
kecil diwanti-wanti sang paman untuk bisa meneruskan kehidupan pesantren
yang mati suri sejak kematian ayahnya.
Tahun 1920, hanya dua
tahun setelah kematian Kiai Santoso, ibunda Zarkasyi meninggal.
Sepeninggalnya, ketujuh putra-putrinya bermusyawarah. Dalam musyawarah
tersebut, Zarkasyi dan kedua kakaknya mengusulkan agar harta peninggalan
kedua orang tua mereka tidak diusik hingga sepuluh tahun ke depan. Hal
itu, menurut mereka, adalah demi masa depan pendidikan mereka demi
melanjutkan cita-cita leluhur mereka menghidupkan pendidikan Islam
melalui pesantren.
Usul disepakati. Dan sejak itu tanah peninggalan
orang tua mereka dikelola oleh saudara laki-laki tertua, Rahmat
Soekarto. Hasilnya digunakan untuk membiayai studi Zarkasyi dan kedua
kakaknya.
Zarkasyi menempuh pendidikan dasar di Sekolah Ongko
Loro Jetis, Ponorogo, sambil nyantri di Pondok Josari dan Joresan
Ponorogo. Lulus dari Sekolah Ongko Loro (1925), sesuai pesan ibunya, ia
memperdalam ilmu agama di Pesantren Jamsaren Solo, kali ini sambil
menyelami pendidikan di Sekolah Mamba’ul ‘Ulum di kota yang sama.
Kemudian
ia melanjutkan ke Sekolah Arabiyah Adabiyah, masih di Solo. Di sekolah
pimpinan M.O. Al-Hasyimy itu, ia memperdalam kemampuan bahasa Arabnya
sampai tahun 1930. Di antara guru yang banyak mendidik, membimbing, dan
mendorong Zarkasyi selama belajar di Solo adalah Ustad Hasyimy, seorang
bekas pejuang Tunisia.
Tak lama setelah menyelesaikan
pendidikannya di Solo, Zarkasyi melanjutkan ke Kweekschool (sekolah
guru) di Padang Panjang, Sumatera Barat, sampai 1935. Sekitar tahun
1935. Zarkasyi menyelesaikan studinya di Padang Panjang.
Ia lalu
dipercaya gurunya, Mahmud Yunus, untuk menjadi guru dan direktur di
perguruan tersebut selama satu tahun. Ia kemudian pulang ke Ponorogo dan
pada 19 Desember 1936 (5 Syawal 1355) mendirikan Kuliyyatul Muallimin
al-Islamiyyah (KMI), yang berarti "Persemaian Guru-guru Islam."
KMI
merupakan sekolah tingkat menengah dengan masa belajar enam tahun. Di
situ, Zarkasyi bertindak sebagai direkturnya. Ia menyusun sebuah konsep
pembelajaran modern dengan sistem pesantren. Salah satu yang ia tekankan
dalam konsep itu adalah soal penguasaan bahasa Arab dan Inggris.
Embrio
Pondok Modern Gontor sendiri telah berdiri sepuluh tahun sebelumnya
keitka Abdullah Sahal, kakak Zarkasyi, merintis Tarbiyatul Athfal (TA)
pada 20 September 1926 (12 Rabi’ul Awal 1345). Saat itu Zarkasyi masih
menempuh pendidikan menengahnya di Solo.
Tak hanya sebagai
direktur KMI, Zarkasyi juga menunjukkan kiprahnya dalam bidang
pendidikan di berbagai institusi. Setelah menjadi kepala kantor agama
Karesidenan Madiun pada 1943, ia diangkat menjadi Seksi Pendidikan
Kementerian Agama pada 1946. Lalu, sejak 1948 hingga 1955, Zarkasyi
menjadi ketua pengurus besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), dan
menjadi penasehat tetap di sana setelah periode tersebut.
Di
Kementerian Agama, Zarkasyi menjadi kepala Bagian Perencanaan Agama
Sekolah Dasar (pada 1951-1953) dan kepala Dewan Pengawas Pendidikan
Agama (1953). Sedangkan di Kementerian Pendidikan ia menjadi anggota
Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta (1957).
Ia
juga pernah menjadi anggota Komite Penelitian Pendidikan. Dan pada tahun
1959, Zarkasyi diangkat Presiden Sukarno menjadi anggota Dewan
Perancang Nasional (Deppernas).
Di kancah internasional, Zarkasyi
pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke
negara-negara Uni Soviet (1962), serta menjadi wakil Indonesia dalam
Mu'tamar Majma' al-Buhuts al-Islamiyah (Muktamar Akademi Islam se-Dunia)
ke-7 di Kairo (1972). Selain itu, ia dipercaya menjadi ketua Majelis
Peritmbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) hingga ia wafat, dan
juga anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Selain
dikenal sebagai aktivis di bidang pendidikan, sosial, dan politik
kenegaraan, Zarkasyi adalah seorang ulama yang aktif menulis. Karena
itu, ia banyak meninggalkan karya tulis. Hal itu sesuai dengan sebuah
prinsip sekaligus cita-cita yang disampaikannya pada awal dibukanya KMI
pada 1936. Saat itu ia berkata,
"Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini (pengajaran tatap muka), saya akan mengajar dengan pena."
Pengajaran,
bagi Zarkasyi, harus berkesinambungan dengan pendidikan. Ia memaknai
keduanya secara berbeda. Pendidikan yang dimaksudnya adalah pendidikan
mental kejiwaan dan akhlaqul karimah. Sedangkan pengajaran adalah
pengembangan intelektualitas yang dicapai melalui pengajaran ilmu
pengetahuan. Ia dengan tegas mendahulukan pendidikan daripada
pengajaran.
Imam Zarkasyi wafat pada pukul sembilan malam tanggal
30 April 1985, meninggalkan seorang istri, 11 orang putra-putri, dan
sejumlah karya tulis. Di antara karya-karya peninggalannya adalah
Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, dan
Kursus Bahasa Islam. Ketiganya ia tulis bersama kakaknya, Zainuddin
Fananie.
Buku-buku yang dtulisnya sendiri antara lain Ushuluddin
(Pelajaran 'Aqaid/Keimanan), Pelajaran Fiqh, Pelajaran Tajwid, Bimbingan
Keimanan, Pelajaran Huruf Alquran, dan Qowa'idul Imla' (Kaidah
Penulisan Arab). Hingga hari ini, hampir seluruh bukunya masih digunakan
di Pondok Modern Gontor. Karya-karya itu terus menjadi 'pengajar'
setelah sosok Zarkasyi meninggalkan warisan berharga berupa kemajuan
pendidikan Islam yang pesat.
Wakafkan Diri pada Pendidikan
“Andaikata
muridku tinggal satu, akan tetap kuajar, yang satu ini sama dengan
seribu, kalaupun yang satu ini pun tidak ada, aku akan mengajar dunia
dengan pena.”
Ungkapan tersebut mewakili cita-cita besar Imam
Zarkasyi dalam mencetak generasi yang berguna, serta betapa ia mencintai
profesi guru. Hidupnya secara penuh didedikasikan untuk menjadi
pendidik dan pengajar. Demi pendidikan, pesantren yang kala itu telah
memliki ratusan santri ia wakafkan kepada umat Islam pada 12 Oktober
1958 (28 Rabi’ul Awal 1378).
Keikhlasan Zarkasyi melepas harta
bendanya untuk kepentingan Islam membuatnya dikenal sebagai ulama yang
sederhana dan bersahaja. Inisiatifnya itu menjadi teladan dan membuat
nilai kesederhanaan dan kejujuran tertanam kuat di lingkungan pesantren
Gontor.
Dalam Biografi KH Imam Zarkasyi di Mata Umat (1996)
disebutkan, sebagai seorang pendidik, Zarkasyi memiliki wawasan yang
jauh ke depan namun tetap istiqomah. Modernisasi pendidikan Islam ia
lancarkan dalam hal metode dan kurikulum tanpa mengorbankan nilai
dasarnya. Ia mempertahankan jiwa ikhlas yang telah menjadi salah satu
nilai mutlak dalam institusi pendidikan Islam yang didirikannya itu.
Di
Indonesia, terutama di kalangan pendidik, Zarkasyi dikenal sebagai
tokoh yang memperjuangkan sistem pendidikan Islam. Tiap kali disodori
pertanyaan mengenai sistem pendidikan yang tepat bagi putra-putri Islam
Indonesia, ia secara lugas menjawab “sistem pendidikan pondok.” Sang
kiai berpendapat sistem pendidikan tersebut mampu menanamkan
kemandirian, kedisiplinan, persaudaraan, keikhlasan dalam menuntut ilmu,
serta ketaatan pada pemimpin.
Zarkasyi hanya tertarik pada
pendidikan. Ia ‘mewakafkan’ jiwa raganya sebagai pendidik. Karena itu,
meski kiprahnya di bidang pendidikan mencapai level nasional, ia tak
melirik dunia politik. Tentang dunia yang satu itu, kiai yang akrab
disapa Pak Zar itu sering mengatakan, “Politik saya adalah pendidikan.”
Pilihan
itu dinilainya sebagai kontribusi bagi dunia politik yang sesungguhnya.
Bagi Zarkasyi, yang lebih penting adalah bagaimana membina mereka yang
akan menjadi pejabat negara sehingga mereka siap menjadi pewarna negara.
Ia mantap pada pendirian bahwa semua bersumber pada pendidikan sebagai
mediatornya. Pendidikan lebih penting dalam hidup berpolitik dan
bernegara.
Karena itu, Zarkasyi kerap mengatakan bahwa
orang-orang besar adalah mereka yang mau mengajar dan mengamalkan
ilmunya di tempat-tempat terpencil dengan kondisi yang serba terbatas,
misalnya dengan ketiadaan listrik. Zarkasyi memaknai pendidikan sebagai
ladang jihad yang sesungguhnya.
“Kalau engkau ingin mengetahui
sesuatu, ajarkanlah sesuatu itu kepada orang lain,” demikian bunyi salah
satu pesan Zarkasyi pada santri-santrinya. Wejangan itu mewakili spirit
pengabdiannya yang teramat tinggi di bidang pendidikan. Tak heran,
hingga kini kata-katanya itu dapat ditemukan di berbagai sudut pondok
modern yang terus berkembang dengan puluhan ribu santri itu.
Sumber : http://www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar